Cerita seks gadis remaja – Meskipun awalnya ragu, akhirnya Nisa mau
juga masuk ke rumah Faris. Dadanya berdegup kencang karena ini adalah
kali pertama ia capital ke rumah teman prianya. Kamu tentu tahu
Madrasah ‘Aliyah tempat mereka berdua bersekolah melarang hubungan lawan
jenis seperti ini. Seperti halnya perintah tegas Sekolah kepada setiap
siswi untuk mengenakan jilbab.
Tapi Nisa tak bisa menolak ajakan teman yang ia sukai itu. Dua tahun
sudah mereka saling mengenal, sejak keduanya sama-sama duduk di bangku
kelas satu. Dan perasaan suka itu muncul di hati Nisa tak absolutist
setelah pertemuan pertamanya. Kalau tidak karena Faris memberi sinyal
yang sama, Nisa tentu sudah melupakan perasaannya. Tapi cowok itu terus
saja bersikap spesial kepadanya, hingga cinta jarak jauh mereka
terjalin erat meski tanpa kontak fisik.
Lalu tiga bulan yang lalu saat menjelang Ujian Akhir Sekolah. Kelas
pria dan wanita yang biasanya terpisah mulai digabung di beberapa
kesempatan karena alasan peningkatan intensitas pelajaran. Siswa putra
duduk di barisan depan, sedang yang putri di bagian belakang. Tapi Faris
duduk di barisan putra batten belakang sedang Nisa di barisan putri
batten depan. Maka tak ayal Faris berada tepat di depan Nisa. Dan itulah
awal kontak terdekat yang terjadi pada mereka.
Biasalah… Awalnya pura-pura pinjam alat tulis, tanya buku, ini… itu…
Tapi senyuman makin sering tertukar dan kontak batin terjalin dengan
pasti. Kadang ada alasan bagi keduanya untuk tidak keluar buru-buru saat
istirahat, hingga ada masa singkat ketika mereka hanya berdua di dalam
kelas; tanya-tanya pelajaran—alasan basi yang batten disukai setiap
orang.
Dua bulan lebih dari cukup untuk memupuk rasa cinta. Meski pacaran
adalah terlarang, dan keduanya belum pernah saling mengutarakan cinta,
tapi semua teman mereka tahu keduanya adalah sepasang kekasih. Hubungan
cinta yang unik di jaman yang serba bebas ini. Dan Nisa begitu
menikmati perasaannya. Setiap waktu teramat berharga. Sekilas tatapan
serta seulas senyuman selalu menjadi bagian yang menyenangkan.
Lalu cinta mulai berkembang saat kenakalan muncul perlahan-lahan. Nisa
sempat ragu saat Faris memintanya untuk datang ke Mall M sepulang
sekolah abscessed itu. Sejuta perasaan bahagia membuncah di hati Nisa,
bercampur dengan rasa takut dan kegugupan yang luar biasa. Ia nyaris
pulang lagi saat abscessed itu ia berdiri di pintu Mall untuk bertemu
dengan Faris. Tapi cowok itu keburu melihatnya hingga ia tak dapat
menghindar lagi. Ia tahu bahwa dirinya salah tingkah selama kencan
pertama mereka.
Malamnya Nisa tak bisa tidur. Membayangkan tentang betapa
menyenangkannya kencan mereka, saat untuk pertama kalinya Faris
menggenggam tangannya selama berkeliling melihat-lihat banyak hal.
Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Faris bahkan membelikan sebuah
hadiah berupa kalung mutiara yang sangat mahal untuk ukuran dirinya.
Untaian mutiara itu sangat indah, putih memancarkan kilau yang terang.
Cowok itu berkata, “Walaupun aku tak akan dapat melihatmu mengenakan
kalung itu, kuharap kamu mau tetap mengenakannya.” Dan tentu saja ia
senantiasa mengenakan kalung mutiara itu.
Satu bulan itu dihiasi dengan kencan sembunyi-sembunyi yang sangat
mendebarkan. Seperti bermain kucing-kucingan dengan semua orang yang
Nisa kenal. Kalau ada satu saja orang yang tahu Nisa berduaan dengan
seorang pria di Mall, maka Nisa tak dapat membayangkan petaka apa yang
akan menimpanya. Tapi berhenti dari melakukan itu ia yakini lebih
mengerikan daripada terus menjalaninya. Karena, di abscessed itu, di
satu sudut yang sepi di dalam Mall, tiba-tiba saja Faris mencium pipinya
dengan cepat tanpa mengatakan apapun juga. Hanya sekilas, dan Faris
membuat seolah-olah itu tak pernah terjadi. Tapi pengaruhnya sangat
besar pada diri Nisa. Karena seluruh perasaannya bergemuruh dan
membuncah. Bercampur aduk hingga ia hanya bisa diam saja seperti orang
bodoh. Sisa abscessed itu berlalu tanpa ada chat apapun, karena Nisa
tahu wajah putihnya telah berubah semerah udang rebus. Meninggalkan
kesan terindah yang terbawa ke dalam mimpi bermalam-malam sesudahnya.
Tiga hari sejak peristiwa itu Nisa selalu berusaha menghindar dari
Faris. Ia merasa malu, bingung dan takut. Bagaimanapun juga satu sisi
perasaannya masih memiliki keyakinan bahwa cinta mereka mulai melewati
batas. Tapi ia belum tahu cara kerja nafsu. Karena ketika akhirnya
mereka bertemu kembali, Nisa tak bisa menolak saat di banyak kesempatan
Faris mencium pipinya berkali-kali; kanan dan kiri. Bahkan, saat Faris
semakin nakal dengan meremas tangannya, memeluk tubuhnya dan mencium
bibirnya (meski semua itu dilakukan Faris tak lebih dari lima detik
saja), Nisa hanya terpana dan sangat menikmati semuanya. Sebelum
berpisah, Faris berbisik pelan kepadanya, “Kamu mau, kan, capital ke
rumah esok sore?”
Anehnya, seperti seorang yang terhipnotis, Nisa mengangguk…
Maka, abscessed itu, dengan mengenakan gamis bercorak ceria khas remaja
dengan hiasan renda bunga melati, dipadukan dengan jilbab blush yang
disemati bros berbentuk kupu-kupu, juga sebuah tas jinjing dari kain
kanvas, Nisa duduk di daybed ruang tamu di rumah Faris. Menunggu
kekasihnya mengambilkan dua gelas jeruk dingin dan sepiring buah-buahan
segar. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dan mendapatkan kesan yang
sangat menyenangkan.
Kesan itu didapat, sebagian karena bagaimanapun ini adalah rumah orang
yang ia cintai, dan sebagiannya lagi karena pemiliknya memiliki cukup
banyak uang untuk menata dengan demikian indahnya. Nisa tak tahu banyak
soal dekorasi, tapi sesungguhnya rumah itu memang didesain dengan
nuansa klasik yang sesuai dengan alam pegunungan tempat rumah itu
berdiri. Perabotan, dari mulai lampu-lampu, tempat duduk, meja,
lukisan-lukisan serta berbagai hal didominasi oleh corak bambu dan kayu
asli. Sementara dedaunan dan tanaman hijau—bercampur antara imitasi dan
buatan—menghiasi sudut-sudut yang tepat. Air terjun buatan dibangun di
samping ruang tamu, dengan cahaya matahari yang hangat menyinari dari
kaca jendela samping. Wilayah itu ditutup oleh kaca bening yang dialiri
air dari atas, sehingga mengesankan suasana hujan yang indah dan
menimbulkan bunyi gemericik air yang terdengar menyenangkan.
Lukisan pedesaan dipasang di satu sudut yang tepat bagi pandangan mata,
dengan gaya naturalis hingga setiap detail nampak sangat jelas.
Seperti sebuah foto namun memancarkan ambience magis yang lebih kentara.
Nisa sempat terpana dengan semuanya, dengan kesejukan yang melingkupi
seluruh dirinya, sampai ia tak sadar kalau Faris telah duduk di
sebelahnya, sedang menata gelas dan piring-piring.
“Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi lagi ke Bandung ikut seminar, nemenin
Abi…”
Nisa tersipu malu. Ia berasal dari keluarga yang lebih sederhana,
sehingga rasa mindernya muncul saat mendapati rumah yang demikian besar
dan mewah ini ternyata milik pacarnya.
“Nggak apa-apa, Ris. Nisa seneng, kok…” Nisa merasakan suaranya
tercekat di tenggorokan.
Sore itu Nisa lalui dengan sangat menyenangkan. Ngobrol berdua,
bercanda, tertawa, nonton film, capital bold PS hingga makan malam. Nisa
baru tahu bahwa ternyata Faris bisa memasak. Pintar malah. Kelezatan
rasanya melebihi masakan yang pernah ia buat. Dengan malu ia mengakui
itu di hadapan kekasihnya, yang membalasnya dengan ciuman pipi kanan
yang lembut.
“Aku tetep sayang kamu, kok…”
Perlu diketahui bahwa Nisa saat itu berusia 16 tahun dan memiliki tubuh
yang mulai matang sebagai seorang gadis. Posturnya juga tinggi dengan
wajah manis yang terkesan keibuan. Tapi percayalah bahwa ia sangat
polos, lebih polos dari gadis SD di kota besar yang telah mahir urusan
peluk dan cium. Desa tempat ia tinggal sangat jauh dari arus informasi
dan pengaruh buruk ibukota. Maka ia tak menaruh prasangka apapun saat
Faris mengajaknya menginap di rumahnya malam itu. Memang ini urusan
yang tabu di desanya, tapi kepolosan Nisa membuatnya yakin bahwa Faris
tak akan melakukan hal buruk terhadapnya. Sehingga, pilihan berbohong
ia lakukan agar bisa berduaan terus dengan kekasihnya. Ia telah bilang
pada orang rumah bahwa ia akan menginap di rumah Ririn. Ia tahu orang
tuanya tak akan curiga, karena hal itu biasa ia lakukan di waktu-waktu
ujian sekolah. Apalagi menjelang Ujian Akhir seperti sekarang.
Suasana malam sangat sunyi dan suara jengkerik telah berganti dengan
burung malam. Tak berapa absolutist rintik hujan mulai turun, dan Nisa
tak menyadarinya sampai hujan itu berubah jadi deras. Sangat deras,
karena di musim penghujan seperti ini hal seperti itu selalu saja
terjadi. Kalau tidak karena suasana cinta yang tengah meliputinya, Nisa
tak akan betah di rumah orang dalam situasi seperti itu.
O, iya… Sebetulnya Nisa dan Faris tidak benar-benar berdua di rumah,
karena ada Hana, adik perempuan Faris yang sekarang duduk di bangku
kelas 1 SMP. Makanya Nisa tidak terlalu merasa sungkan, karena ia bisa
bermain dengan Hana juga di sepanjang abscessed dan malam itu. Farislah
yang agak kerepotan karena harus meminta Hana agar berjanji tidak
memberitahukan keberadaan Nisa kepada orang tua mereka. Hana sebetulnya
tidak susah dibujuk. Hanya saja keberadaannya menyulitkan karena
ciuman-ciuman harus dilakukan secara hati-hati.
Peluk dan cium beberapa waktu yang lalu memang mendapatkan perlawanan
(meski setengah hati) dari Nisa. Tapi hal itu tak berlaku malam ini,
karena kini Nisa merasa lebih santai dan bebas. Di satu kesempatan Faris
memeluknya sembari mencium bibirnya sekilas. Di kesempatan lain ia
dipeluk dari belakang, tepatnya saat ia mencuci piring bekas makan malam
dan pria itu mengendap-endap dari belakang dan begitu saja
melingkarkan tangan di pinggangnya. Nisa sempat menjerit pelan dan
berusaha meronta, tapi tangannya yang memegang piring dipenuhi busa
sabun hingga susah untuk bergerak. Ia hanya menggelinjang pelan dan
merengek lemah, saat pelukan itu makin erat dan ciuman di pipinya
membuatnya terbius. Hampir saja Hana melihat perbuatan mereka, kalau
Faris tidak buru-buru melepaskan pelukan di pinggang yang ramping itu.
Setelah mandi malam yang menyenangkan, di dalam bath-tub air hangat
yang penuh busa dan peralatan mandi yang lengkap milik Umi Faris, Nisa
bergabung dengan kakak beradik di ruang TV. Ia mengenakan busana malam
yang lebih santai (setidaknya untuk ukuran gadis berjilbab); kemeja kaus
lengan panjang putih bermotif garis warna biru dengan bawahan rok
katun berwarna biru lembut, dipadukan jilbab simpel berwarna biru
senada. Parfum balm bunga khas remaja ia seprotkan di tempat-tempat
yang tepat untuk menyegarkan dirinya. Lalu ia duduk di samping Hana
yang sedang tertawa menyaksikan blur kartun di televisi.
Mata Nisa saat itu tertuju penuh ke televisi, namun pikirannya terbang
ke alam tertinggi yang penuh imajinasi. Pelukan dan ciuman hangat dari
Faris mau tak mau membangkitkan gairah terpendam yang selama ini
tersembuyi jauh di dasar jiwanya. Ia mengalami semacam sensasi aneh
yang baru dikenalnya, yang sangat memabukkan dan membuatnya lupa diri.
Jam baru pukul delapan malam namun kegelisahannya telah memuncak.
Nisa tak tahu—atau mungkin tak berani mengakui—bahwa dirinya telah
dipenuhi sensasi seks yang menyenangkan. Terlebih ini adalah masa-masa
suburnya. Letupan-letupan kecil yang dipicu oleh Faris membuatnya
perlahan-lahan tebawa ke arus deras, hingga sulit terbendung oleh
keremajaannya yang sedang membara. Penghalang dirinya untuk melakukan
hal-hal yang lebih seronok adalah rasa malu, takut serta ketidaktahuan
yang besar tentang kondisi-kondisi semacam ini. Tapi pancingan-pancingan
yang dilakukan oleh Faris dengan lihai membawanya pada
pengalaman-pengalaman terlarang yang sangat menggairahkan. Semuanya
akibat kepolosan sang gadis remaja.
Jam delapan lewat dua puluh menit Faris bangkit dari duduknya dan
menarik tangan Nisa agar mengikutinya. Hana tak sadar karena ia terfokus
pada acara televisi. Nisa menurut dan dadanya berdebar kencang saat
Faris menariknya ke lantai dua. Kalau Nisa sedikit lebih gaul, ia akan
tahu Faris bermaksud melakukan sesuatu, tapi Nisa jauh lebih polos dari
yang orang kira, hingga ia justru merasa senang saat Faris mengajaknya
untuk melihat-lihat kamarnya. Ia senang bisa tahu isi dalam kamar
kekasih yang ia cintai.
Nisa kagum pada suasana kamar Faris yang menyenangkan. Ia juga terkejut
saat menemukan foto dirinya dalam affectation separuh badan terpampang
di dinding kamar. Foto itu ditutupi Faris oleh affiche pemain bola,
hingga tidak ada yang tahu bila setiap malam ia menarik affiche itu dan
memandangi foto gadis yang tersenyum manis di sana.
Nisa setengah lupa tentang kapan ia membuat foto itu. Ia merasa foto
itu lebih cantik dari aslinya. Tapi Faris menjelaskan bahwa affairs
komputer photoshop dapat melakukan banyak hal, seperti membuat gadis
secantik dirinya terlihat lebih segar dan mempesona. Nisa tersipu malu.
Tapi itu belum seberapa, karena tiba-tiba Faris menarik dirinya agar
berhadapan, lalu mengeluarkan sepasang anting mutiara dari kotak beludru
di saku celananya. Nisa terperanjat. Faris berbisik mesra,
“Ini pasangan kalung yang pernah kuberikan. Aku mau kamu
mengenakannya…”
Mata Nisa berkaca-kaca. Kalau saja ia berani, ia sudah memeluk pria di
hadapannya dan menciumnya bertubi-tubi. Tapi ia terlalu malu untuk
melakukan hal semacam itu. Ia hanya salah tingkah, saat Faris meletakkan
anting-anting itu di telapak tangannya dan berkata lagi,
“Aku pasangkan sekarang, ya…”
“Tapi…” Suara Nisa serak dan lirih.
“Tapi kenapa?”
“Nisa malu…”
“Kok malu? Bukankah kita saling mencintai?! Masihkah kita saling
tertutup?”
Nisa bingung untuk menjawab, karena ini adalah momen pertama dalam
hidupnya ketika ia harus membuka jilbabnya di hadapan seorang laki-laki.
Wanita-wanita yang biasa berbikini di kolam renang atau berpakaian
seksi di Mall-mall tentu tak akan paham kenyataan ini. Tapi Nisa adalah
perempuan yang sejak belasan tahun lalu selalu menutup seluruh bagian
tubuhnya dan tak memamerkannya pada siapapun kecuali keluarganya.
Melepas jilbab baginya sama seperti melepas rok di depan kamera bagi
gadis keumuman.
Aneh? Memang! Tapi itulah kenyataannya. Ia setengah menangis saat tak
kuasa menolak permintaan Faris yang menyudutkan itu. Ia memang diam.
Tapi dadanya bergemuruh hebat saat jemari Faris melepasi jarum dan
peniti yang menyemati jilbabnya. Ia tertunduk dalam dan menahan nafas
saat tangan kekasihnya menarik lepas jilbabnya. Tangannya yang gemetar
meremas-remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri
saat Faris menarik dagunya agar mereka bisa saling bertatapan serta
membelai rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang
bahunya.
“Kamu cantik sekali, Nisa…” Suara itu terdengar lirih, dan Nisa hanya
terpejam menahan semua perasaannya. Itu adalah ekspresi terbodoh yang
pernah ia lakukan, atau justru yang terbaik, karena semuanya mendorong
Faris untuk mengecup bibirnya dengan lembut. Ciuman hangat dan penuh
cinta, membawa Nisa terbang tinggi dan melupakan dunia ini.
“Mmmh…”
Nisa hanya terpejam pasrah. Tubuhnya gemetar hebat. Tapi mulutnya
terbuka lebar saat lidah Faris mulai menjulur dan menggelitiki rongga
mulutnya. Lidahnya ikut bergerak meski masih sangat kaku, saling
menggelitiki untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna. Tangannya
begitu saja memeluk lengan Faris yang kokoh, yang saat itu tengah
melingkarkannya di pinggangnya sendiri.
Waktu seakan berhenti. Dan keduanya terpaku seperti sepasang patung
sihir. Hanya helaan nafas yang terdengar di sela-sela ciuman membara dan
dipenuhi gelora cinta. Kedua tubuh itu merapat dan saling bergesekan,
seakan tak dapat terpisahkan. Saling memberikan rasa hangat yang aneh
dan membangkitkan seluruh saraf yang tertidur. Keduanya baru berhenti
ketika nafas mulai habis dan terengah-engah kelelahan. Nisa kaget dan
merasa malu sekali. Mulutnya basah akibat ciuman panas itu. Tapi ia tak
dapat berbuat apa-apa selain menanti yang terjadi selanjutnya. Ia
membiarkan Faris memasang anting-anting di kedua telinganya. Ia menahan
rasa geli saat jari jemari Faris seakan menggelitik kedua telinganya,
dan menurut saja ketika pria itu menuntunya ke hadapan cermin besar.
“Lihat… Kamu cantik sekali..”
Nisa melihat sekilas ke cermin, menyaksikan dirinya sendiri tanpa
jilbab, dengan dihiasi anting-anting dan kalung mutiara dari kekasihnya.
Ia merengek manja dan menutup muka dengan telapak tangannya. “Aah…
Faris jahat… Nisa malu…”
“Malu sama siapa?”
Mereka bercanda dengan mesra dan lebih hangat. Ciuman tadi telah
menyingkapkan tabir kekakuan yang telah terbentuk selama ini. Mereka
kini lebih mirip sepasang kekasih, dengan pelukan dan ciuman hangat yang
sarat nuansa cinta.
Pagi itu adalah pagi terindah bagi Nisa. Menghidangkan sarapan di meja
makan untuk Faris membuatnya merasa seperti seorang istri yang melayani
suaminya. Faris dan adiknya sangat puas dengan masakannya. Canda tawa
menghiasi makan pagi mereka yang berlangsung dengan santai. Seusai
makan Hana langsung berangkat sekolah, meninggalkan sepasang sejoli
yang dimabuk asmara itu tanpa kecurigaan apapun. Membiarkan keduanya
menikmati hari dalam kemesraannya.
Tapi, kalau kamu berpikir malam itu keduanya melakukan
hubungan-hubungan khusus suami istri, percayalah bahwa kamu salah besar.
Mereka masih terlalu penakut untuk melakukan hubungan yang lebih jauh.
Meskipun ciuman mereka semakin panas, aktivitas lain masih terhitung
sopan karena tangan Faris tak pernah bergerilya seperti tangan para
professional. Masih tetap pelukan sopan yang tak melibatkan rabaan
ataupun sentuhan lain. Keduanya tidur terpisah dan tak ada aktivitas
nakal di malam hari.
Nisa pulang dari rumah Faris sekitar pukul sepuluh pagi, setelah banyak
ciuman tambahan sehabis sarapan dan mandi pagi. Kepada orang rumah ia
bilang sekolah pulang cepat. Seharian ia lebih banyak mengunci diri
dalam kamarnya, menikmati sensasi imajinasi yang semakin cheat
dibanding waktu sebelumnya.